KORANKITA.ID [JAKARTA] – Terpidana kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo, saat ini menghadapi hukuman penjara seumur hidup. Dalam sistem hukum Indonesia, satu-satunya mekanisme yang berpotensi meringankan atau bahkan membebaskan Sambo dari sanksi pidananya yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) adalah melalui jalur grasi Presiden.
Ferdy Sambo sebelumnya divonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun vonis tersebut dianulir menjadi penjara seumur hidup oleh Mahkamah Agung (MA) pada Agustus 2023.
Pakar hukum pidana menjelaskan bahwa grasi merupakan hak prerogatif absolut yang dimiliki oleh Presiden Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
"Grasi adalah upaya hukum luar biasa yang berada di luar ranah yudikatif. Ini murni keputusan eksekutif," ujar seorang pengamat hukum di Jakarta, Minggu (14/12).
Meski demikian, pengajuan grasi bukan tanpa syarat. Syarat utama yang lazim diperlukan adalah adanya pengakuan kesalahan secara tulus dan penyesalan mendalam dari pihak terpidana.
"Presiden akan mempertimbangkan banyak aspek, termasuk masukan dari Mahkamah Agung dan lembaga terkait lainnya. Pengakuan dosa dan penyesalan menjadi kunci moral dalam pertimbangan tersebut," tambahnya.
Saat ini, Ferdy Sambo masih mendekam di Lapas Kelas IIA Cibinong. Mengingat status hukumannya adalah seumur hidup, ia tidak berhak mendapatkan remisi (pengurangan masa tahanan) atau pembebasan bersyarat, sehingga jalur grasi menjadi satu-satunya celah teoritis menuju kebebasan.
Keputusan akhir, apakah permohonan grasi akan dikabulkan atau ditolak, sepenuhnya berada di tangan Presiden Republik Indonesia.@Surya Atmaja
0 Komentar